Kritikan Para Sejarawan terhadap Sejarah Kartini
Tokoh sejarawan Tiar Anwar Bahtiar menggugat sejarah Kartini dengan membuat artikel berjudul “MENGAPA HARUS KARTINI ?”. Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009. Sejarawan lulusan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Tentu saja, kritikan seperti di atas bukan pertama kali dilontarkan para sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat pemerintahan Orde Baru masih sangat kuat, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, lulusan doktor sosiologi Harvard University – guru besar Universitas Indonesia, pernah menggugat masalah ini. Harsja mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Tentu saja, kritikan seperti di atas bukan pertama kali dilontarkan para sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat pemerintahan Orde Baru masih sangat kuat, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, lulusan doktor sosiologi Harvard University – guru besar Universitas Indonesia, pernah menggugat masalah ini. Harsja mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Harsja juga mengkritik dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ada beberapa sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia, antara lain:
Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil mencegah dan menolak usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Siti Aisyah We Tenriolle
Siti Aisyah We Tenriolle bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah syair kepahlawanan La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar syair besar itu dibuat sendiri oleh Siti Aisyah We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan lain-lainnya
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, wanita-wanita tersebut sudah lebih jauh melangkah dalam mewujudkan ide-ide ke bentuk tindakan nyata. Contohnya adalah sebagai berikut:
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.
Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan). Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Keterbelakangan kondisi wanita Indonesia sebelum masa Kartini adalah TIDAK BENAR
Jika kita mempelajari kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, maka omongan bahwa keterbelakangan kondisi kaum wanita di negeri ini sebelum dan di saat masa Kartini hidup adalah tidak benar. Wanita-wanita hebat tersebut turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh sebelum masa Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Kartini tidak akan dikenal jika tidak dibantu Belanda
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Awalnya Kartini bergaul dengan Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.“
Lalu, Kartini berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia (di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri) dalam masa kehidupan Kartini, hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, dalam buku berjudul “Satu Abad Kartini” (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja menggugat, “Mengapa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda dan tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kita-lah yang mengembangkannya lebih lanjut?”
Peran Snouck Hurgronje dalam Penokohan Kartini
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda, yaitu Snouck Hurgronje yang mendorong Abendanon untuk menokohkan Kartini. Padahal, Snouck adalah seorang ilmuwan Belanda yang menjadikan tugas keilmuannya untuk kepentingan politik Belanda, dan berusaha membuat kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Karena itulah, dalam buku berjudul “Satu Abad Kartini” (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja menggugat, “Mengapa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda dan tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kita-lah yang mengembangkannya lebih lanjut?”
Peran Snouck Hurgronje dalam Penokohan Kartini
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda, yaitu Snouck Hurgronje yang mendorong Abendanon untuk menokohkan Kartini. Padahal, Snouck adalah seorang ilmuwan Belanda yang menjadikan tugas keilmuannya untuk kepentingan politik Belanda, dan berusaha membuat kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Sekilas tentang aksi Snouck Hurgronje
Agar lebih bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah dan mendapat simpati para ulama Mekkah, maka Snouck merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar agar langkahnya semakin mudah untuk mendapatkan kepercayaan umat muslim. Strategi Snouck ini cukup berhasil, dan benar-benar memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "Mufti Hindia Belanda".
Snouck Hurgronje adalah adviseur (penasehat) pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam buku karangan Dr. Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib menjelaskan bahwa Snouck Hurgronje memberikan banyak nasehat strategi kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Strategi berikutnya adalah pelaksanaan kristenisasi dan pemanfaatan adat.
Tetapi terhadap daerah yang Islamnya kuat semisal Aceh, saran Snouck Hurgronje pada Belanda saat itu adalah untuk tidak menggunakan strategi kristenisasi. Untuk menghadapi Islam di Aceh, Snouck cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui penggabungan kebudayaan daerah dengan kebudayaan Belanda.
Hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang dan mengagumi kolonialis Belanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Agar lebih bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah dan mendapat simpati para ulama Mekkah, maka Snouck merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar agar langkahnya semakin mudah untuk mendapatkan kepercayaan umat muslim. Strategi Snouck ini cukup berhasil, dan benar-benar memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ‘penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ‘ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "Mufti Hindia Belanda".
Snouck Hurgronje adalah adviseur (penasehat) pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam buku karangan Dr. Aqib Suminto yang berjudul Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib menjelaskan bahwa Snouck Hurgronje memberikan banyak nasehat strategi kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Strategi berikutnya adalah pelaksanaan kristenisasi dan pemanfaatan adat.
Tetapi terhadap daerah yang Islamnya kuat semisal Aceh, saran Snouck Hurgronje pada Belanda saat itu adalah untuk tidak menggunakan strategi kristenisasi. Untuk menghadapi Islam di Aceh, Snouck cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui penggabungan kebudayaan daerah dengan kebudayaan Belanda.
Hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang dan mengagumi kolonialis Belanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
“Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: “Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Gugatan dan Himbauan Prof. Harsja W. Bachtiar
Menurut Harsja, ada baiknya bangsa Indonesia mulai berpikir lebih jernih: “Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Atau mengapa bukan Cut Nyak Dien yang tidak pernah mau bekerjasama dengan Belanda, dan tidak pernah menyerah menentang para penjajah? Apa kepentingan tersembunyi Snouck Hurgronje dan Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian pemerintahan negara ini mengikuti kebijakan itu?”, gugat Harsja.
Harsja menghimbau agar informasi tentang wanita-wanita hebat pahlawan Indonesia dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi teladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia dan lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
semoga bermanfaat....
Gugatan dan Himbauan Prof. Harsja W. Bachtiar
Menurut Harsja, ada baiknya bangsa Indonesia mulai berpikir lebih jernih: “Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Atau mengapa bukan Cut Nyak Dien yang tidak pernah mau bekerjasama dengan Belanda, dan tidak pernah menyerah menentang para penjajah? Apa kepentingan tersembunyi Snouck Hurgronje dan Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian pemerintahan negara ini mengikuti kebijakan itu?”, gugat Harsja.
Harsja menghimbau agar informasi tentang wanita-wanita hebat pahlawan Indonesia dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi teladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia dan lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
semoga bermanfaat....